Nostalgia Politik Filipina dan Kebangkitan Politik Sayap Kanan

Artikel ini telah sebelumnya diterbitkan di kumparan.com.

Warna politik akhir-akhir ini diwarnai oleh (paling tidak) bangkitnya sayap kanan politik yang bernuansa nasionalis. Mulai dari munculnya Trump di AS dengan slogannya 'America First', menangnya Presiden Bolsonaro di Brazil, menguatnya Marinne Le Penn di Prancis (walaupun kalah pemilu 2 kali), hingga yang terbaru adalah kuatnya posisi kandidat Presiden Filipina, Bongbong Marcos, yang digadang-gadang akan memenangkan pemilu tahun ini.

Bongbong Marcos merupakan anak dari mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos, yang terkenal dengan dugaan korupsi dan politik kleptokrasi yang dibangun semasa dia memimpin Filipina. Bongbong maju dalam pemilu presiden bersama dengan Sara Duterte, anak Presiden Filipina yang sekarang, Rodrigo Duterte, sebagai calon wakil presidennya.

Bangkitnya trah Marcos merupakan bagian dari fenomena politik sayap kanan yang memang menguat akhir-akhir ini. Ditambah dengan sentimen nostalgia bahwa dahulu berbeda dengan yang sekarang dan dahulu lebih sukses dan nyaman dibanding kondisi sekarang, nostalgia politik memang acap kali digunakan dalam kampanye politik, terlepas dari sayap apapun politiknya.

Lantas bagaimana politik sayap kanan dapat menguat kembali? Hal pertama yang dapat dipikirkan adalah melemahnya kelembagaan multilateralisme akhir-akhir ini dan bangkitnya pro-negara masing-masing yang terkatalis dari sudut pandang mengamankan negara sendiri dahulu. Kelemahan multilateralisme inilah yang akhirnya menjadi gerbang dari bangkitnya poros politik nasionalisme bahwa globalisasi yang ada sekarang tidak membawa kemakmuran yang sebagaimana digaungkan.

Narlikar (2020) mengatakan bahwa paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan kemunduran multilateralisme, yaitu kekecewaan dengan globalisasi yang ada sekarang, narasi yang lemah dalam mendukung multilateralisme, dan kurangnya aturan multilateral yang ada untuk menghadapi tantangan baru. Walaupun demikian hal ini pun memang masih menjadi isu yang sering didebatkan dan dianalisis hingga sekarang oleh para ahli dan akademisi.

Bagaimana dengan Indonesia? Sudah bukan rahasia lagi, hampir semua kandidat dari beberapa partai besar di Indonesia membangkitkan nuansa masa lalu dalam kampanye politiknya terlepas sayap politik yang dianutnya. Partai 'merah' misalkan yang selalu membawa identitas Soekarno sebagai dinamo kampanye politiknya terlepas memang keluarga ataupun tidak. Lalu ada juga partai 'hijau' yang membawa identitas Presiden ke-4 RI, Abdurahman Wahid/Gus Dur, yang memang mendirikan partai tersebut, sebagai salah satu corong aspirasinya. Ada juga partai kuning ataupun pecahannya yang membawa identitas Soeharto sebagai 'Bapak Pembangunan' dengan segala kontroversinya.

Hal ini mendasari bahwa di Indonesia pun nostalgia politik masih dan akan terus terjadi dalam perpolitikan domestik. Entah karena glorifikasi masa lalu atau memang identitas patron dalam budaya patron-klien yang kuat yang memang sudah terbentuk dan susah hilang di negeri ini. Terlepas dari itu, diskursus melemahnya era globalisasi pada masa ini patut diberikan tempat khusus untuk diperhatikan. Globalisasi yang digadang memberikan keleluasan dalam transaksi dan berhubungan nyatanya melebarkan celah antara yang maju dan yang berkembang. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ruang-ruang tersebut dimanfaatkan oleh para penikmat nostalgia politik atau memang terafiliasi dengan sayap politik tertentu.