Is There Still Space for Civil Society for Indonesia Vision for 2045? | Saturday, March 9, 2024 | Pasca Sarjana, SKSG Building, 4th floor, University of Indonesia
Acara diskusi dibuka dengan menyanyikan Indonesia Raya yang disusul dengan sambutan dari Bapak Kevin selaku perwakilan INADIS. Selanjutnya, beberapa kata sambutan diberikan, dimulai dari Ms. Jenny Nguyen selaku perwakilan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, Bapak Bayu sebagai perwakilan dari program studi Kajian Wilayah Amerika SKSG Universitas Indonesia, dan Ibu Suzie Sudarman selaku perwakilan dari INADIS dan Universitas Indonesia.
Selanjutnya, dilakukan sesi panel discussion yang dipandu oleh Bapak Dary. Mr. Brian Macharg dari Appalachian State University selanjutnya diundang untuk memberikan pemaparan.
Mr. Brian Macharg membuka langsung dengan menjelaskan bahwa masih ada harapan untuk civil society dalam visi Indonesia Emas 2045. Pertanyaannya adalah seberapa jauh kita mau mendorong diri sendiri untuk memanfaatkan kemampuan dan hal yang kita miliki untuk mendorong perubahan dari sisi sipil demi kepentingan dunia secara kolektif.
Mr. Brian menjelaskan bahwasanya, terkadang, belum semua orang mau mengambil peran untuk mendorong perubahan. Padahal, sebagai 7% dari populasi dunia yang mengenyam pendidikan tinggi, seharusnya kemampuan mendorong perubahan secara kritis dan grassroot menjadi privilese yang perlu diarahkan terhadap pembentukan dan pendorongan greater goods melalui dorongan dan advokasi perubahan.
Agar kita dapat lebih engaged secara civic, terdapat empat komponen yang perlu diperhatikan: (1) perhatian terhadap isu sehari-hari di sekitar kita, (2) struktur perhatian yang dimiliki masyarakat, (3) shared enterprise yang dapat dijadikan pintu masuk advokasi, dan (4) pemanfaatan infrastruktur civic untuk mendorong perubahan yang berarti.
Isu sehari-hari (everyday life) yang dimaksud Mr. Brian adalah bagaimana pengulangan yang dihadapi masing-masing individu dapat menjadi pintu untuk mendorong partisipasi dan kesadaran. Misalnya, seorang anak yang belum tahu mengenai norma pergi ke toilet, dengan dibiasakan sehari-hari untuk diarahkan, dapat terbentuk kebiasaannya secara positif untuk mengetahui hal yang baik. Sama dengan pergerakan dan perubahan, dengan membiasakan terjadinya partisipasi dan pembentukan keinginan turut serta dan mendorong perubahan, maka akan terbentuk perubahan perlahan yang efektif.
Struktur perhatian mengacu pada bagaimana pergerakan civic perlu memanfaatkan structure of causes yang dapat mengidentifikasi apa yang menarik dan apa yang sebaliknya diabaikan oleh masyarakat yang ada. Hal tersebut dapat membantu pembentukan strategi yang efektif dalam sebuah pergerakan.
Shared enterprise selanjutnya merujuk pada bagaimana kesadaran dan keinginan untuk mendesak perubahan dapat ditimbulkan ketika terbentuk avenue yang menciptakan shared feeling terhadap sebuah isu—memantapkan individu tersebut untuk mau mendorong perubahan karena mengalami dampak buruknya.
Terakhir, civic infrastructure yang dimaksud Mr. Brian adalah bagaimana infrastruktur pergerakan yang efektif dapat mendorong perubahan. Adapun terdapat dua pendekatan yang dapat diperhatikan, yakni teori social norming dan nudge untuk mendorong masyarakat melihat bahwa infrastruktur civic untuk men-engage dorongan perubahan sudah cukup mapan dan dapat dipercaya.
Sebagai contoh yang unik, Mr. Brian memberikan contoh mengenai bagaimana teori social norming dapat meningkatkan partisipasi terhadap sebuah sasaran kegiatan/acuan dengan memberikan data dan angka yang menciptakan rasa nyaman bagi individu untuk mengakses kegiatan tersebut karena dianggap sudah banyak dan umum (customary) untuk dilakukan. Misalnya, dengan kampanye “85% orang di Addis menggunakan kamar mandi saat membutuhkan”, orang-orang yang selama ini belum menggunakan kamar mandi/toilet dapat lebih terdorong untuk berubah.
Secara menyeluruh, Mr. Brian lantas menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan ini dapat membuka ruang lebih terhadap perubahan. Akan tetapi, dibutuhkan keinginan bagi kita untuk dapat berpartisipasi sehingga civic engagement yang dibutuhkan terbentuk.
Seminar lalu dilanjutkan dengan pemaparan dari Ibu Sherly Haristya. Pada awal sesi, Ibu Sherly membuka pemaparannya dengan background pendidikannya hingga sekarang menjadi Technical & Ethics Advisor untuk INADIS. Setelah itu, Ibu Sherly juga menjelaskan mengenai edukasi dan berbagai karya publikasinya mengenai digital governance issues.
Selanjutnya, Ibu Sherly berbicara mengenai the history of election year di Indonesia secara umum.
Ketika sedang berbicara tentang pemilihan umum, Ibu Sherly menyambungkan topik pembahasan tersebut dengan pemilihan umum Indonesia tahun 2024 ini. Ibu Sherly menyebutkan bahwa ia pernah membaca sebuah artikel yang berasal dari BBC Indonesia, dimana di dalam artikel tersebut terdapat pembahasan mengenai mengapa kandidat nomor 2 pemilu 2024 masih dapat menang meskipun banyak menerima kritik dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia.
Setelah itu, Ibu Sherly menunjukkan sebuah hasil interview yang mengangkat topik, “The Lower Class: Welfare vs Democracy”. Hasil interview tersebut menunjukkan bahwa pertentangan antara kesejahteraan dan demokrasi nyata adanya dan mencerminkan dilema antara memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan untuk mencapai kesetaraan sosial, dan memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan, tanggung jawab pribadi, dan partisipasi politik tetap terjaga.
Lalu selanjutnya, Ibu Sherly mulai memasuki topik utama pembicaraan seminar pada kali ini yaitu civil society yang dimana menurut nya, civil society group harus bekerja sama untuk memperluas potensi dalam membentuk dan memajukan bangsa Indonesia.
Dengan berbagai faktor penghambat serta tantangan-tantangan yang kerap bermunculan, Ibu Sherly menganggap bahwa “Visi Indonesia Emas 2045” sebenarnya patut dikhawatirkan.
Sehingga dengan begitu, muncullah satu pertanyaan inti untuk menjawab tantangan terhadap keberlangsungan “Visi Indonesia Emas 2045” tersebut. Pertanyaan tersebut ialah; What forms and roles would Indonesian civil society take in safeguarding the fulfillment of the golden Indonesia 2045?
Sejalan dengan pertanyaan tersebut, Ibu Sherly mengambil contoh melalui perkataan seorang stand-up comedian yang bernama Bintang Emon dalam majalah Tempo. Bintang mengatakan bahwa Tempo seperti amigdala, yang bertugas untuk mengingatkan otak/pikiran untuk menjauhkan kita dari membuat masalah. Dan sisi lain dari otak kita yang bertugas untuk mendukung kita adalah Closed the Door (podcast).
Dengan perkataan Bintang Emon dalam majalah Tempo tersebut, aktor-aktor yang tergabung ke dalam civil society seperti media dan influencers memiliki peran untuk berpartisipasi dan mengambil bagian dalam mengkritik pemerintahan. Sama halnya seperti podcast “Closed the Door” milik Deddy Corbuzier yang tidak jarang melayangkan kritik-kritik terhadap pemerintah Indonesia. Namun di sisi lain, civil society juga harus dapat menemukan jalan untuk lebih banyak bergabung dengan sektor pemerintahan agar nantinya kedua belah pihak juga dapat lebih terbuka satu dengan yang lainnya.
Tentu saja, civil society sudah dan akan selalu menemukan tantangan-tantangan yang dapat menghalangi mereka untuk berpartisipasi dalam menjalankan dialog dengan pemerintah secara terbuka guna memajukan bangsa dan negara ini. Ibu Sherly mengambil beberapa poin penting yang merepresentasikan tantangan tersebut.
Yang pertama, Ibu Sherly menyoroti hubungan antara ekosistem informasi yang kita miliki dengan keberagaman dalam civil society itu sendiri. Ekosistem informasi yang rentan terhadap penyebaran misinformasi dan propaganda dapat mengganggu upaya masyarakat sipil dalam menyuarakan kepentingan mereka dengan jelas. Penyebaran informasi palsu atau manipulatif bisa merusak reputasi dan kredibilitas kelompok-kelompok masyarakat sipil, serta mengganggu proses demokratisasi.
Lalu yang kedua merupakan buzzers dan influencers. Ibu Sherly memandang bahwa buzzers juga menjadi tantangan tersendiri dikarenakan mereka merupakan sekelompok orang yang menyebarkan informasi propaganda pemerintah untuk memecah belah bangsa dan negara. Dan fakta yang menyebutkan bahwa mereka hanya bekerja bagi siapa pun yang mempekerjakan mereka hanya akan terus memperburuk situasi. Namun influencers yang berada di dalam sisi yang baik, peran aktif mereka justru dapat membantu menyatukan bangsa melalui keterlibatan dengan pemerintah, mengedepankan transparansi dan pengertian terhadap satu sama lain.
Setelah membahas tantangan-tantangannya, Ibu Sherly beralih kepada kesempatan-kesempatan yang ada. Ia menyebutkan bahwa masyarakat sipil tentu memiliki peluang yang terbuka lebar untuk bekerja sama dengan para otoritas. Namun Ibu Sherly menekankan perlunya jarak yang kritikal antara masyarakat sipil dengan para otoritas.
Lebih lanjut lagi, Ibu Sherly menjelaskan bahwa untuk memanfaatkan keragaman civil society, harus ada pertanyaan yang mendasar mengenai, “who do what to engage with whom”, yang memiliki pengertian sederhana dimana peran masing-masing pihak harus lebih diperjelas lagi.
Ketika sesi pemaparan yang dibawakan oleh Ibu Sherly telah usai, sesi tanya jawab maupun pemberian kritik dan saran dibuka oleh moderator, Bapak Darynaufal Mulyaman.
Tidak lama berselang, Ibu Rahma, yang merupakan alumni Universitas Indonesia yang hadir pada saat itu, menunjukkan dua pertanyaannya untuk Mr. MacHarg. Untuk pertanyaan yang pertama, Ibu Rahma menanyakan bagaimana opini Mr. MacHarg terkait pemerintahan Joe Biden dalam mengatasi konflik Israel-Palestina. Lalu untuk pertanyaan yang kedua, Ia juga menanyakan opini dari Mr. MacHarg terkait relasi antara Indonesia dengan Amerika Serikat di masa depan yang dikarenakan presiden terpilih, Bapak Prabowo Subianto sangat mendukung Palestina yang dimana bertolak belakang dengan kebijakan yang dimiliki oleh Amerika Serikat.
Setelah Ibu Rahma menyelesaikan pertanyaan-pertanyaannya, Mr. MacHarg pun mengangkat suaranya dengan mengatakan bahwa dunia ini penuh dengan area abu-abu. Mr. MacHarg melihat kompleksitas dari seluruh situasi ini. Selanjutnya, Mr. MacHarg mengatakan bahwa tentunya civil society juga dapat turut mengambil bagian dalam situasi rumit seperti ini. Mereka dapat meng-address situasi konflik Israel-Palestina dengan mengubah situasi dari local area mereka sendiri. Melalui jawaban yang ia berikan, Mr. MacHarg telah menjelaskan posisinya dalam situasi ini yaitu bahwa ia mendukung seluruh pihak dalam situasi ini. Ia juga mendukung seluruh pihak untuk mengejar kepentingan mereka masing-masing.
Selanjutnya, waktu untuk memberikan pertanyaan kedua diberikan kepada Bapak Ruly, seorang lulusan dari University of Oregon, fakultas manajemen dan bisnis yang sekarang menjadi tenaga pengajar di Universitas Pelita Harapan. Bapak Ruly tidak memiliki pertanyaan. Ia hanya mengajukan beberapa pendapatnya sebagai bentuk follow-up dari topik yang sudah dibahas pada sesi sebelumnya. Bapak Ruly sendiri melihat democracy sebagai democrazy. Ia secara terang-terangan mengatakan bahwa ada yang salah dari peristiwa 98. Pemerintah Indonesia tidak hanya mencongkel rezim Suharto, namun mereka juga mencongkel Pancasila, yang berakibat dengan tercongkelnya demokrasi negara ini. Bapak Ruly berpendapat bahwa pemerintahan Indonesia saat ini tidak terlihat menggunakan sistem parlementer, begitupun juga dengan sistem presidensial. Bapak Ruly menambahkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menjadi terlihat sebagai supreme organization. Menurut nya, UUD Republik Indonesia harus diubah ke yang lama lagi. Ia bahkan tertawa ketika mendengar adanya visi Indonesia emas 2045. Ia mempertanyakan program 12 tahun akan digunakan sebagai apa jika banyak masyarakat Indonesia yang hanya lulusan SMP.
Beberapa saat ketika Bapak Ruly sudah menyelesaikan pembicaraannya, Bapak Darynaufal selaku moderator mengatakan bahwa kesempatan untuk para peserta yang datang dari kalangan akademisi telah habis dan menawarkan alternatif lain yaitu dengan memberikan pertanyaan maupun kritik terhadap para narasumber setelah seluruh rangkaian acara seminar telah selesai. Selanjutnya, Bapak Darynaufal memberikan kesempatan untuk tiga orang mahasiswa penanya dari beberapa universitas yang datang.
Pertanyaan pertama datang dari Erza, seorang mahasiswa yang tergabung ke dalam Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia (HMHI UI). Erza disini menanyakan kapan civil society di Indonesia dapat tumbuh dewasa dan pembelajaran apa yang dapat diambil Indonesia dari civil society di Amerika Serikat? Mr. MacHarg membalas pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa sebagai bagian dari masyarakat sipil, kita harus dapat menemukan orang lain yang mendukung isu yang sama dengan kita. Dengan begitu, kita akan dapat saling tolong-menolong dan membawa isu-isu tersebut ke platform yang lebih besar lagi untuk dilihat khalayak luas.
Lalu selanjutnya, seorang mahasiswa dari Universitas Kristen Indonesia bernama Zico, melancarkan pertanyaan nya soal masyarakat Indonesia yang bersifat religius. Itu sudah tertuang di prinsip utama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga masyarakat Indonesia memegang teguh agama nya dengan sangat baik dan benar. Namun kita tidak bisa mengelak adanya fakta bahwa terdapat beberapa orang yang telah tergabung ke dalam komunitas LGBTQ+. Mereka tidak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh ketika mengekspresikan diri mereka hanya karena mereka berbeda dari pandangan kebanyakan orang Indonesia. Pertanyaannya, apakah 2045’s civil society bisa menjamin hak asasi manusia dan bagaimana caranya? Mr. MacHarg membalas pertanyaan tersebut dengan sebuah kalimat sederhana yang merangkum seluruh pertanyaan tersebut. Mr. MacHarg mengatakan bahwa dalam hidup ini, terkadang manusia dihadapkan oleh sebuah situasi dimana mereka harus memilih antara menjadi benar atau menjadi penuh kasih. Mr. MacHarg menyarankan kita untuk memilih menjadi penuh kasih di setiap saat. Dengan begitu, kelompok-kelompok yang termarjinalkan dapat merasa bahwa mereka dilihat dan didengar, dan sudah sepatutnya mereka diperlakukan sama rata dengan yang lainnya.
Seusai Mr. MacHarg menjawab pertanyaan milik Zico, kesempatan terakhir untuk bertanya jatuh ke tangan Alia, seorang mahasiswi Universitas Veteran Jakarta. Alia menyebut demokrasi di Indonesia saat ini terlihat seperti yang ada pada tahun ‘98 silam. Ia bertanya apakah ada kesempatan bagi Indonesia melalui masyarakat sipil dan pelajar untuk memperbaiki situasi ini? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Ibu Sherly menyebutkan bahwa penting adanya bagi para guru/tenaga pendidik untuk memberdayakan para pelajar agar mereka nantinya dapat menjadi warga negara yang bertanggungjawab. Selain itu, pemerintah juga harus lebih transparan lagi dengan mengungkap pendanaan mereka sebagai itikad baik kepada publik agar publik dapat mempercayai mereka. Untuk Mr. MacHarg sendiri, ia membalas pertanyaan tersebut dengan mengajak kita untuk bersuara bagi yang tidak bisa. Kita harus mewakilkan suara mereka agar suara mereka dapat didengar juga. Bangun sebuah lingkungan dimana seluruh orang dapat mengaksesnya, lanjut MacHarg.
QnA pun telah sampai kepada penghujung sesi. Bapak Darynaufal kemudian membacakan sedikit kesimpulan yang didapat dari seminar ini. Etika merupakan satu kata kunci yang menjadi perekat seluruhnya. Seperti yang disebutkan Bapak Darynaufal, civil society harus dilandaskan dengan etika karena etika merupakan produk dari kehidupan sehari-hari dan kehidupan sehari-hari adalah tempat dimana semuanya berawal. Jadi etika perlu untuk dipraktikkan setiap harinya, baik di rumah, di sekolah, di tempat kerja, dan lain sebagainya. Dengan etika, komitmen yang kuat untuk berkontribusi pada kesejahteraan umum dan keadilan sosial pastinya akan dapat terlaksana dengan baik.
Setelah itu, acara dikembalikan kepada Mas Kevin selaku MC untuk seminar ini. Sebagai penutup, Mas Kevin menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para narasumber dan peserta yang telah hadir. Menurutnya ini merupakan diskusi yang sangat bermanfaat. Ia berharap untuk dapat bertemu kembali dengan para hadirin di acara selanjutnya dan menutup acara di siang hari tersebut dengan para peserta yang bertepuk tangan secara meriah.