Pemilu Korea Selatan 2022 dan Peluang Indonesia


Artikel ini diunggah kembali dari sumber utama yang dapat diakses di sini: kumparan.com.


Korea Selatan akan menyelenggarakan pemilu pada 9 Maret 2022. Berbagai analisis mengenai siapa yang pantas melanjutkan proses kepemimpinan di negeri ginseng itu pun muncul. Presiden petahana Moon Jae-In tidak dapat maju pada periode ini karena terhalang konstitusi Korea Selatan saat ini. Yaitu dinyatakan bahwa seorang presiden hanya boleh menjabat 5 tahun dan tidak dapat diperbaharui.

Dari beberapa kandidat yang tampil, terdapat dua kandidat besar yang membuat pemilih di Korea Selatan terbelah. Lee Jae-Myung, mantan Gubernur Provinsi Gyeonggi (Provinsi terpadat di Korea Selatan, dan bila dikomparasikan dengan peta politik Indonesia, maka setara dengan Jawa Barat), yang datang dari partai yang sama dengan Presiden Moon Jae-In, Partai Demokrasi. Serta, Yoon Seok-Yeol, seorang mantan Jaksa Agung Korea Selatan, yang datang dari partai konservatif, People Power.

Lee Jae-Myung, diunggulkan karena datang dari partai petahana dan memiliki program kerja yang progresif, seperti upah minimum nasional semesta untuk rakyat Korea Selatan yang bekerja dan tidak bekerja, pendekatan pada Korea Utara yang lebih humanis, serta melanjutkan dan meluaskan cakupan kebijakan yang telah dibuat oleh Presiden Moon, seperti kebijakan New Southern Policy (NSP).

Lee Jae-Myung, diunggulkan karena datang dari partai petahana dan memiliki program kerja yang progresif

Kendati demikian Yoon, yang merupakan mantan Jaksa Agung Korea Selatan juga memberikan persepsi yang baik untuk pemberantasan korupsi, karena dirinya lah yang tampil untuk mengadili mantan Presiden Park Geun-Hye pada kasus korupsi yang membuat dirinya dimakzulkan pada tahun 2017 dan proses pemenjaraan mantan Presiden Lee Myung-Bak pada 2018 akibat korupsi. Tidak hanya itu, Yoon Seok-Yeol juga mengungkapkan akan merumuskan pendekatan pada Korea Utara yang lebih tegas dan keras.

Yoon Seok-Yeol juga mengungkapkan akan merumuskan pendekatan pada Korea Utara yang lebih tegas dan keras.


Peluang Indonesia dari Kandidat Partai Demokrasi Korea Selatan

Untuk Indonesia, hal apa yang dapat dipetik dan diproyeksikan jika Lee Jae-Myung atau Yoon Seok-Yeol yang memenangi pemilu kali ini merupakan hal yang menarik untuk dianalisis. Jika Lee Jae-Myung yang menjadi Presiden Korea Selatan berikutnya, tentu saja kebijakan NSP yang sudah dicanangkan oleh Presiden Moon akan terus dilanjutkan. Kebijakan ini adalah sebuah kebijakan yang mana menaruh perhatian khusus pada rekan perdagangan dan hubungan luar negeri Korea Selatan yang ada di ASEAN dan India. Tentu saja, Indonesia mendapat poin khusus dan bahkan sudah merasakannya seperti investasi Hyundai dan LG terkait baterai dan perakitan mobil listrik di Karawang pada tahun 2021.

Hal ini tentu membawa hal yang positif terkait hubungan bilateral Indonesia dan Korea Selatan. Tidak hanya itu, pada masa Presiden Moon pun perundingan perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan Korea Selatan rampung dibahas dan akhirnya ditandatangani. Indonesia pun menjadi negara pertama di ASEAN yang dikunjungi ketika menjadi presiden. Maka, proyeksi yang muncul untuk hubungan bilateral Indonesia dan Korea Selatan berikutnya pun banyak menaruh banyak poin positif jika Lee Jae-Myung yang menerima estafet kepemimpinan Korea Selatan berikutnya, akibat kesamaan ideologi dengan Presiden Moon.


Kandidat Partai Konservatif Korea Selatan dan Peluang Indonesia

Meskipun demikian, jika rival terbesar Lee Jae-Myung, Yoon Seok-Yeol yang memenangi pemilu maka akan tercipta dinamika baru dari hubungan Korea Selatan dan rekan perdagangan dan hubungan luar negerinya seperti Tiongkok, dan mungkin juga Indonesia. Sederet pendekatan konservatif dan tegasnya akan membuat dinamika rekan dialog dapat terhambat dengan pandangannya yang realistis dan keras, seperti pada pandangan Yoon Seok-Yeol yang ingin menjaga jarak dengan Tiongkok yang memang punya kedekatan dengan Korea Utara, walaupun Tiongkok adalah rekan dagang terbesar Korea Selatan. Lalu, terkait Korea Utara, Yoon Seok-yeol merencanakan untuk memilih kebijakan yang lebih memaksimalkan kemampuan militer daripada diplomasi, seperti menangani rudal balistik Korea Utara juga dengan pendekatan militer.

Kendati demikian, jika diukur pada level domestik, mungkin ketegasan hukum akan menjadi sasaran utama rencana pembangunan Yoon Seok-Yeol. Hal ini tentu saja hal yang positif bagi masyarakat Korea Selatan, karena kepastian hukum akan menjadi lebih pasti di kehidupan mereka. Bagi Indonesia, hal yang patut diwaspadai adalah keberlanjutan program kerja sama militer pada bidang pembuatan pesawat tempur KFX/IFX dan kapal selam yang memang dilematis akibat bengkaknya biaya.

Dilihat dari kaca mata konservatif, hal ini tentu dapat mengurangi kepastian proyek di masa depan akibat Yoon Seok-Yeol dapat menggolongkan proyek tersebut sebagai pemborosan yang harus diatasi akibat Indonesia, sebagai rekan, merupakan negara yang belum berteknologi tinggi, sehingga proyek ini dapat langsung dialihkan dengan membeli pesawat tempur Amerika Serikat (AS) yang sudah pasti lebih canggih dan mumpuni. Kemudian, akibat dari sikap pro pada poros AS yang besar serta refleksi kebijakan Korea Selatan pada masa presiden yang datang dari partai konservatif, Yoon Seok-Yeol dapat diproyeksinya akan tidak seprogresif Presiden Moon di bidang hubungan luar negeri dengan ASEAN, khususnya Indonesia.